Wednesday, April 11, 2012

Djojobojo Menentang Jepang


Jepang datang bukan hanya untuk memenuhi ramalan Jayabaya tapi juga mengingkarinya. Perlawanan pun muncul dari gerakan Djojobojo.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI

RAMALAN Jayabaya telah lama hidup di tengah masyarakat Jawa. Mereka yakin pemerintah kolonial Belanda akan berakhir karena ramalan Jayabaya menyebutkan, “ayam jantan berbulu kekuning-kuningan, yang datang dari sebelah timur laut akan mengusir kerbau bule bermata biru.” Masyarakat Jawa yakin, tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional I, yang dimaksud ayam jantan berbulu kekuning-kuningan yang datang dari timur laut adalah Jepang.
Tak heran jika kedatangan Jepang disambut dengan suka-cita oleh rakyat. Dan untuk menarik dukungan rakyat demi kepentingan perang, “Jepang juga ternyata menyebarkan selebaran dengan pesawat-pesawat udara yang dengan pandai mempergunakan ramalan Djojobojo untuk memberi janji kepada rakyat Indonesia,” tulis Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Selebaran itu berbunyi: “Raja Djojobojo di Kediri pernah berkata bahwa bangsa kulit kuning akan datang menolong bangsa Jawa dan sekarang kamilah yang datang menolong...”
Namun, Jepang tentu tak mengakui penggalan ramalan Jayabaya berikutnya yang menyebutkan, “bangsa kulit kuning akan memerintah tanah Jawa hanya selama seumur jagung.” Penggalan ini pula yang justru menjadi harapan bukan hanya rakyat kecil tapi juga cendekiawan dan kalangan militer, misalnya para pemuda yang masuk Pemuda Tanah Air (Peta). Mereka percaya Jepang akan pergi dan Indonesia akan merdeka.
Dengan menggunakan nama ramalan itu pula, kelompok komunis, yang menetapkan fasisme sebagai lawan sejak diputuskan dalam Kongres Komunis Internasional VII di Moskow pada 1935, melakukan perlawanan terhadap Jepang dengan membentuk gerakan Djojobojo. Gerakan ini dipimpin Mr Mohammad Joesoeph, berpusat di Bandung dan mencapai daerah sekitarnya, Indramayu dan Cirebon. Di antara kader-kadernya terdapat Bahri, Hidayat, K. Muhidin, Suminta, Mohammad Sain, O. Sugih, Parnawidjadja, dan Azis.
Menurut Soeranto Soetanto dalam Pemberontakan PKI Mr. Mohammad Joesoeph Tahun 1946 di Cirebon,Joesoeph lahir di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, pada 17 Mei 1910. Dia anak seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda, sehingga dapat mengenyam pendidikan ELS (Europeesch Lagere School), HBS V (Hogere Burger School), bahkan mendapatkan ijazah sarjana hukum dari Universitas Utrecht, Belanda, pada 1937 –selain sempat belajar ilmu ekonomi di Universitas Berlin. Sekembalinya ke Indonesia, dia menjadi pengacara pada 1938, dan mendapatkan simpati karena selalu membantu rakyat yang lemah di pengadilan. 
Joesoeph juga menceburkan diri ke dalam dunia politik dan berbagai organisasi. Pada 1939, dia mendirikan Persatuan Supir Indonesia (Persi) di Cirebon. Organisasi sopir yang didirikannya, tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I, tampaknya berhasil dengan program radikalnya, yang melihat adanya ikatan antara perjuangan serikat buruh dan aksi politik sebagai yang diharapkan dan mutlak diperlukan. “Sebagai kelanjutannya Joesoef juga ikut berperan dalam mendirikan Partai Buruh Indonesia tahun 1941,” tulis Poeze.
Pada 1942, Joesoeph menjadi anggota Gerindo di Bandung, karenanya menjalankan politik antifasis. Masih di Bandung, dia juga menjadi ketua Gabungan Perdagangan Indonesia (Gapindo) pada 1943. Sebagai kekuatan gerakan Djojobojo, “Joesoeph mengorganisasikan sopir-sopir taksi/kendaraan bermotor lainnya di wilayah Cirebon-Bandung-Tasikmalaya,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Menurut Soeranto, dalam pergaulan sehari-hari di mata masyarakat Cirebon, “Joesoeph mempunyai sifat sombong, angkuh, tetapi penuh dengan keterus-terangan pribadinya.” Di kalangan pemuda, dia dikenal sebagai “mister gendeng” karena berani melawan dan memaki-maki Jepang di muka umum. “Karena itu, banyak pemuda yang kagum dengan keberaniannya. Bahkan, sebagai revolusioner tua, pengaruhnya besar antara lain memengaruhi D.N. Aidit,” tulis Gie.
Dalam kegiatan revolusionernya, Djojobojo berhubungan dengan grup antifasis Mr Soeprapto. Lahir di Tuban pada 1905, Soeprapto aktif di Jong Java, Indonesia Muda, Suluh Pemuda Indonesia, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, dan lulus fakultas hukum Recht Hogere School (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta pada 1940. “Sejak menjadi ketua Persi Cirebon, Joesoeph berkenalan dengan Soeprapto yang menjadi pimpinan Persi Semarang,” tulis Soeranto. Beberapa kader Soeprapto antara lain Abdullah, Sukirman, Abioso, Marlan, dan Rubia.
Menurut Sidik Kertapati, kegiatan Djojobojo dan kelompok Soeprapto terutama terdapat di kalangan kaum buruh bermotor, buruh minyak, perkebunan, dan sebagainya, di mana mereka melakukan taktik sabotase untuk menggagalkan jalannya produksi untuk tujuan perang. “Pada tahun 1943 gerakan Djojobojo membongkar rel kereta api antara Banjar dan Pangandaran yang membawa akibat tergulingnya kereta api militer Jepang dan putusnya hubungan antara kedua tempat itu untuk beberapa waktu lamanya,” tulis Sidik. “Juga di Nagrek, Garut, sabotase ini dilakukan lagi, tapi gagal.”
Seperti pada Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) yang dipimpin Amir Sjarifuddin, Gie menaruh keraguan pada kegiatan Djojobojo. “Kita tidak dapat menilai daya gerak dan aktivitas Joyoboyonya. Walaupun Sidik Kertapati menyatakan bahwa mereka pernah menyabot kereta api, sebagai grup bawah tanah hasil terbesarnya terbatas pada aksi-aksi propaganda,” tulis Gie. Soeranto mengemukakan pendapat senada: “Gerakan ini terbatas hanya pada aksi propaganda anti-Jepang.”
Meski begitu, Djojobojo masuk daftar hitam Jepang. Menurut Sidik, untuk menangkap anggota Dojobojo, Jepang mengadakan konferensi Joyoboyo palsu dengan menyiarkan undangannya di media massa. “Banyak di antara kader revolusioner yang tidak waspada terpancing karena tipu-muslihat itu kemudian tertangkap,” tulis Sidik. “Berpuluh kader dan anggota Djojobojo dimasukan ke penjara, dan di antara mereka yang menjadi korban dan dihukum mati adalah Parnawidjadja, Lukman, dan Tas’an.”
Joesoep sendiri tak tertangkap. Dia menyusup menjadi siswa atau penghuni Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih 80 Jakarta yang didirikan pada 1944 atas dukungan Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Di asrama yang dikelola Mr Ahmad Subardjo dan Wikana ini, tulis Soeranto, Joesoeph membangun sel PKI bersama Soeprapto, yang kemudian sel ini menjelma menjadi PKI legal pada 21 Oktober 1945 dan diakui pemerintah pada 7 November 1945. Tak lama kemudian, PKI Joesoeph melakukan pemberontakan di Cirebon pada 12 Februari 1946. Joesoeph dan Soeprapto divonis empat tahun penjara.
Petualangan “mister gendeng” berakhir pada 1953. Dia meninggal dalam kecelakaan lalu lintas.

Konspirasi CIA dan NAZI

Di mana ada peperangan, di situ biasanya ada agenda tersembunyi yang telah diatur “pemain belakang layar”. Sementara prajurit bertempur mati-matian, mereka putar otak menangguk uang di tengah kesusahan orang. Mencuri tambang berharga, menyelundupkan peralatan perang, mencari posisi kunci dari pemerintahan baru, atau bisa saja diam-diam memutar uang di industri kemiliteran lawan.


PERANG DAN BISNIS, Sebenarnya semua demi uang. Buruh Yahudi yang bisa dibayar murah tentu saja jadi alasan. Karna itu holocaust banyak disebut sebagai persekongkolan jahat. Selain itu, mesin-mesin perang Jerman Nazi juga banyak ditopang oleh pasokan dana yang besar dari konglomerat AS.


Dalam Kedigdayaan Nazi Jerman, diutarakan bagaimana pengusaha AS dan Jerman memutar uang membangun bisnis patungan, sementara jutaan prajurit kedua negara meregang nyawa di medan pertempuran. Kali ini diketengahkan seputar sepak terjang agen-agen khusus CIA dan SS yang di lapangan ternyata berkonspirasi mengamankan bisnis miliaran dollar para pengusaha papan atas kedua negara. Beberapa tahun lalu rahasia ini terbongkar sehingga kontan banyak pihak dikecewakan.


Agenda tersembunyi itu terbongkar bertahap, diawali dengan mencuatnya bukti-bukti keterlibatan tak langsung Inggris-AS dalam tragedi holocaust. Di permukaan baik London maupun Washington, begitu menentang tekanan dan pembantaian yang dilakukan tentara Nazi terhadap puluhan ribu kaum minoritas. Namun, di belakang, mereka ternyata tak pemah benar-benar berupaya membebaskan mereka, meski upaya pelarian sudah di depan mata. Diduga, keengganan membebaskan itu karena mereka inilah para pekerja paksa kunci penggerak industri patungan AS-Jerman.


Di Auschwitz, misalnya, pabrik bom, kimia dan persenjataan utama Jerman milik IG Farben — yang disokong penuh raja minyak AS, Rockefeller – selama PD II meraup untung besar karena digerakkan oleh ribuan orang Yahudi yang tak perlu diupah. Selain Rockefeller yang masuk dengan bendera Standard Oil, di lingkup industri vital lainnya ditanam pula uang milik General Motors, IBM, Ford, The Chase and National City Bank, ITT dan masih banyak lagi lainnya Jumlah awal uang yang diputar mencapai delapan miliar dollar.


John D. Rockefeller


Tak heran jika lalu muncul sindiran sinis, bahwa para prajurit AS yang bertempur mati-matian di Jerman benar-benar menyedihkan. Mereka tak tahu bahwa pesawat yang mengebomi mereka sebenarnya dibuat dari uang orang-orang negaranya.” Baik Standard Oil maupun IG Farben sendiri sama-sama kartel di bidang industri strategis. IG Farben memonopoli industri kimia, film dan farmasi di Jerman. Sementara Standard Oil, di AS, merupakan penguasa ladang minyak. Berkat dukungan Rockefeller, IG Farben menyuplai 85 persen kebutuhan amunisi Jerman selama PD II.


Rockefeller dan pengusaha AS lainnya itu diam-diam sudah menanam saham dan membangun usaha patungan di Jerman sejak 1926. Jerman sendiri bagi Rockefeller ibarat “rumah kedua”, karena kakek moyangnya, yakni Johann Rockefeller, adalah imigran asal Jerman.


Ditengarai, CIA dan Waffen SS disewa khusus melakukan penjagaan mengingat industri patungan tersebut kian menggurita dan melibatkan banyak orang berpengaruh. Di antaranya adalah Averell Harriman (raja kereta AS), Fritz Thyssen (industrialis, penyokong utama keuangan Nazi), serta bankir AS — George Herbert Walker dan Prescott Bush. Uniknya lagi, di dalam kompleks industri militer ini masuk pula kepentingan Joseph Stalin, pimpinan Rusia yang juga musuh besar Nazi Jerman. Kompleks industri ini agaknya sengaja dilokalisir di Polandia agar terhindar dari campur-tangan Hitler dan para kroninya.


UU Trading with the Enemy Act yang diterbitkan badan legislatif AS seolah tak bergigi menghadapi praktik gelap Rockefeller. Boleh jadi itu karena Standard Oil memberi imbalan karet sintetis yang amat diperlukan kendaraan perang AS. Kebanyakan petinggi AS juga segan berurusan dengan keluarga Rockefeller karena ia menguasai banyak ladang minyak di seantero AS.


Sangat tak mungkin jika Pemerintah AS tak mengetahui atau memberi izin berkaitan dengan ekspor barang-barang tersebut. Sebaliknya, mudah dipahami jika kemudian pemboman yang dilakukan AS tak pernah menjamah Auschwitz. Paling dekat bom jatuh 14 mil dari komplek pabrik dan kamp konsentrasi yang ada di sana. Penempatan kompleks vital ini di luar wilayah Jerman ditengarai juga dimungkinkan atas saran dari pejabat CIA. Dan, merupakan suatu fakta yang konyol ketika baru saja perang usai, CIA langsung berkantor pusat di gedung pencakar langit milik Farben di Frankfurt.


Deretan fakta tersebut kontan menguatkan tuduhan bahwa holocaust tak lebih dari persekongkolan jahat. Orang-orang Yahudi itu pun kemudian berkilah. Memasuki dasawarsa 1930-an, mereka seperti diberi angin dalam membangun pabrik bir, bank, pabrik dan pertokoan. Namun setelah itu mereka dipaksa mendukung proyek Aryanisasi dengan menyerahkan aset-aset mereka untuk ongkos memulai perang.


Mereka lalu dijadikan sapi perahan. Sekitar sepuluh juta orang dieksploitir di pabrik-pabrik sebagai budak dan buruh kerja paksa. Mereka yang sudah tak mampu lagi bekerja akan segera digiring ke kamp-kamp eksperimen sebagai final solution. Enam juta orang Yahudi dan warga minoritas lain dilaporkan mati dalam proyek penyiksaan yang dipimpin Reinhard Heydrich.


Persekongkolan Pasca-Perang




Ketika perang baru saja pecah, tak sedikit warga Yahudi sudah mengetahui prahara apa yang bakal menimpa. Mereka kemudian berupaya menyewa kapal laut dan melarikan diri ke Palestina. Upaya pelarian ini ironisnya digagalkan oleh tentara Inggris dan AS.


William R. Perl, mantan aktivis yang kemudian direkrut menjadi perwira intelijen AD AS, ingat betul bagaimana kapal perang Inggris, HMS Lorna menembaki kapal penumpang Tiger Hill hingga terbakar dan tenggelam begitu mendekati tanah Palestina. Lima belas ribu imigran Yahudi yang terperangkap di dalamnya menjadi tumbal pelarian sementara kapal-kapal lain dengan terpaksa kembali ke Jerman. Tembakan juga dilancarkan dari intelijen Inggris Mi-6 ke arah kapal “The Struma”.


Untuk apa mereka mengusir balik para pengungsi itu jika tak ada maksud tertentu? Pertanyaan ini sama sinisnya dengan pernyataan yang kemudian mengemuka. Yakni, bahwa korban pertama tentara Inggris semasa PD II sebenamya bukanlah orang Jerman, melainkan justru para imigran Yahudi tak bersenjata.


Persekongkolan CIA dengan pasukan rahasia Jerman yang sulit dipercaya masih dijalin hingga perang usai. Sudah bukan rahasia lagi bahwa begitu Jerman menyerah, pemerintah AS dan Rusia segera mengirim tim khusus untuk memburu ilmuwan Jerman yang terkenal pintar berikut senjata dan temuan rahasia yang telah mereka buat. Masing-masing berusaha membawa pulang sebanyak-banyaknya, dan masing-masing tentu saja melibatkan satuan intelijen dan pasukan elit.


Intelijen Nazi sendiri lebih berpihak ke AS ketimbang Rusia. Hal ini ditandai dengan kasak-kusuk Jenderal Reinhard Gehlen, pimpinan intelijen Nazi. Alih-alih agar reputasi kejahatannya selama di SS lolos dari perangkap Pengadilan Nuremberg, ia buru-buru mengontak Direktur CIA Allen Dulles dan mengajukan tawaran. Ia siap menyerahkan ratusan cendekiawan kunci Jerman asalkan CIA mau menghapus track record intelijen Nazi dan mau menerimanya sebagai bagian dari CIA. Jika tawaran ini ditolak ia sudah siap berafiliasi dengan KGB dan menyerahkan seluruh aset berharga itu ke tangan Rusia.


Menghadapi tawaran tersebut, Dulles tak berkutik. Ia pun “menyerah” dan mau menutup seluruh kisah kejahatan intelijen Nazi, bahkan kalau perlu CIA akan menulis ulang sejarah masa lalu unit ini. Dulles menjamin seluruh rahasia unit ini aman ditangannya dan unit Gehlen bisa langsung menginduk di bawah naungan CIA. Sikap terbuka ini kontan “dibayar” dengan 760 cendekiawan Jerman Nazi yang langsung dikirim bertahap ke AS hingga 1955 memperkuat komunitas ilmuwan di negeri tersebut.


Presiden Harry S. Truman sadar betul, paket cendekiawan ini dapat menjadi sasaran celaan kaum oposan karena melapangkan hak keimigrasian bagi tokoh Nazi amat dilarang UU. Untuk itu ia memberanikan diri memberi hak khusus kepada CIA untuk mengeksekusi proyek ini dalam operasi khusus berkode Paperclip. Dalam operasi ini, mereka masuk ke AS melalui gerbang khusus yang diawasi Agen Obyek Intelijen Gabungan Departemen Peperangan.


Diantara yang lolos seleksi ada nama-nama seperti Arthur Rudolph dan Wernher von Braun. Rudolph tak lain adalah direktur operasi pabrik Mittlewerk di kompleks kamp konsentrasi Dora-Nordhausen. Ia dianggap bertanggung-jawab terhadap penyiksaan 20.000 pekerja paksa. Catatan awal menunjukkan, Rudolph 100 persen Nazi, berbahaya dan mengancam. Namun, catatan terbaru CIA menyatakan: tak ada satu pun dalam jejak kehidupannya tersangkut kriminal atau kegiatan Nazi. Di AS, Rudolph dan Braun mengembangkan roket Saturn 5 yang berhasil mengantar modul Apollo ke bulan.


Selain mereka juga ada Kurt Blome, pembuat vaksin; Walter Schreiber, dokter psikopat di kamp konsentrasi; Klaus Barbie, SS penjagal ribuan warga Prancis; Heinrich Rupp, agen SS yang kemudian menjadi tokoh belakang layar kasus Iran-Kontra; Licio Gelli, agen rahasia Italia pendukung fanatik Nazi yang kemudian atas persetujuan AS jadi penyuplai rudal Exocet ke Argentina.


Di antara sekian banyak tokoh. Gelli dinilai sebagai tokoh paling berharga bagi CIA karena punya pengaruh lugs. Selain punya hubungan dekat dengan George H. Bush, Paus Paulus VI dan Juan Peron (Argentina), ia juga menjalin kedekatan dengan pimpinan Libya Muammar Khadafy dan menjadi agen ganda CIA-KGB. Gelli juga ikut mendirikan Brigade Merah di Italia. (US National Archieve, http://www.nara.gov)


Operasi Paperclip akhirnya dihentikan pada 1957 menyusul protes keras yang dilancarkan pemerintah Jerman Barat. Pemerintah Jerman Barat jengah terhadap ekploitasi yang dikerjakan CIA terhadap orang-orang Jerman. Terlebih karena sebagai pendiri kantor intelijen Bundesnarichtensdient (BND), Gehlen menjadi sulit memihak kepada negaranya. Namun, di luar proyek ini, orang-orang ini toh tak pernah bisa seratus persen melepas kebiasaan buruknya. Mereka masih suka bermain di belakang layar dan tetap saja suka menyiksa orang.


http://sejarahperang.com

Barbarosa Pahlawan Islam yang Menjadi Propaganda Jahat Barat

Anda yang gemar membaca komik Asterix dan anda yang pernah menonton film ‘Pirates of The Carribean’, tentu ingat karakter jahat ‘Barbarossa’ bukan? Sejak zaman pertengahan, aneka macam karya fiksi Eropa dan Amerika biasa menggunakan nama Barbarossa untuk menamai karakter seorang penjahat –biasanya seorang bajak laut jahat. Makna negatif Barbarossa terus dipropagandakan hingga zaman sekarang, meski di dalam setting-setting yang berbeda. Tak ada asap jika tak ada api, kebiasaan para penulis fiksi Eropa dan Amerika ini tentu ada sebabnya.




The Barbarosa Brothers


Pada abad ke-15 masehi, di Laut Mediterania ada dua bajak laut bersaudara yang disebut The Barbarossa Brothers. Kedua tokoh ini menjadi legenda dalam dunia ‘per-bajak-laut-an’ dan merupakan tokoh bahari yang sangat ditakuti orang-orang Eropa pada zamannya. Kebiasaannya ialah membajak barang-barang berharga yang diangkut oleh kapal-kapal milik kerajaan-kerajaan Eropa yang melintasi Laut Mediterania. Awak kapal yang dibajak biasanya diberi dua pilihan; mati karena melawan atau hidup dengan menyerah secara sukarela.


Siapakah sebenarnya Barbarossa yang sangat ditakuti oleh orang-orang Eropa selama berabad-abad itu? Mengapa hingga zaman sekarang nama itu terus menghantui benak dan pikiran mereka?


Barbarossa bukanlah sebuah nama. Barbarossa merupakan kata dalam bahasa Latin –gabungan dari kata barber (janggut) dan rossa (merah). Jadi Barbarrossa berarti janggut merah. Barbarossa merupakan julukan yang diberikan oleh para pelaut Eropa kepada kakak-beradik Aruj dan Khairuddin dari Turki. Kedua kakak beradik ini hanyalah pelaut-pelaut biasa yang rutin berlayar di wilayah perairan Yunani dan Turki.


Awal Gerakan Barbarosa


Pada suatu hari, tanpa sebab yang jelas, kapal milik keluarga mereka diserang secara brutal oleh kapal militer Knight of Rhodes. Dalam peristiwa ini, adik bungsu Aruj dan Khairuddin tewas terbunuh. Aruj dan Khairuddin sangat terpukul dengan kematian adik bungsu mereka. Sejak saat itu, mereka melakukan aksi bajak laut kepada semua kapal-kapal militer milik kerajaan-kerajaan Kristen. Aksi-aksi mereka sangat menggemparkan dan membuat mereka ditakuti militer Kristen. Aruj dan Khairuddin pun kemudian dikenal sebagai The Barbarossa Brothers Pirates karena keduanya berjanggut merah.


Kaum Eropa menyebut Barbarossa sebagai bajak laut, meskipun tidak ada bendera hitam dan tengkorak yang menjadi simbol bajak laut. Bendera yang dipasang Aruj dan Khairuddin di kapal mereka adalah sebuah bendera berwarna hijau berisi kaligrafi doa Nashrun minallaah wa fathun qariib wa basysyiril mu’miniin, ya Muhammad, empat nama khulafaur rasyidin, pedang Zulfikar dan bintang segi enam Yahudi (Bintang David). Awak kapal yang dipimpin kedua bersaudara ini terdiri atas orang-orang Islam dari bangsa Moor, Turki, dan Spanyol, serta beberapa orang Yahudi.




Pada tahun 1492 M, Andalusia yang sejak tahun 756 M dikuasai oleh Daulah Khilafah Islamiyah, jatuh ke tangan Pasukan Salib yang terdiri atas pasukan gabungan Aragon dan Spanyol. Dalam peristiwa penaklukan Andalusia ini, jutaan orang Islam dan Yahudi tewas dibantai pasukan yang dipimpin Raja Ferdinand II dari Aragon.


Perjuangan Jihad Barbarosa


Peristiwa itu mengubah haluan misi dendam Aruj dan Khairuddin menjadi misi Jihad Islam. Bahu-membahu bersama sekelompok milisi bangsa Moor, mereka kemudian menyelamatkan puluhan ribu Umat Islam dari Spanyol ke Afrika utara (Maroko, Tunisia dan Aljazair). Kemudian mereka membangun basis pertahanan laut di Aljazair untuk menghadang gelombang serangan Pasukan Salib dari jalur Afrika Utara menuju Tanah Suci Palestina.


Khalifah Islam saat itu, Sulaiman I, mendengar cerita-cerita heroik Barbarossa bersaudara. Sulaiman I sangat kagum pada heroisme mereka. Karena prestasi mereka di lautan, akhirnya Sulaiman I mengangkat Aruj dan Khairuddin sebagai Kapudan Pasha (Panglima Angkatan Laut) Khilafah Islamiyyah untuk membenahi Angkatan Laut Daulah Khilafah Islamiyah yang amburadul.


Adu Domba Pihak Spanyol


Pada tahun 1518 Spanyol berhasil menghasut Amir kota Tlemcen (Tilmisan) untuk melancarkan pemberontakan kepada kepemimpinan Aruj. Aruj kemudian menyerahkan pemerintahan Aljazair kepada Khairuddin untuk sementara. Lalu ia memimpin pasukan untuk berangkat ke Tlemcen. Hati Aruj sangat pilu karena ia malah berperang dengan saudara sendiri sesama Muslim. Akibatnya ia kurang berkonsentrasi dan pasukannya kocar-kacir. Aruj sempat lolos, namun banyak pasukannya yang tertangkap. Karena hubungan emosionalnya dengan anak buahnya, Aruj kembali ke Tlemcen untuk bertempur dan ia gugur dalam pertempuran tersebut.


Dengan gugurnya Aruj, kepemimpinan Angkatan Laut Daulah Khilafah Islamiyah beralih ke tangan Khairuddin. Spanyol mengira bahwa era kejayaan Barbarossa di Laut Tengah telah berakhir. Lalu, dengan percaya dirinya, Spanyol mengirim 20.000 tentaranya ke Aljazair. Pertempuran hebat pun terjadi, namun Khairuddin berhasil menghajar pasukan laut tersebut.


Sejarah dan Kehebatan Pasukan Janissary


Guna meminimalisir ancaman dari negeri sekitar Aljazair, selain ancaman utama Spanyol, Khairuddin kemudian meminta kepada Khalifah Sulaiman I agar kekuasaan Amir Tunisia dan Tlemcen dialihkan kepadanya. Sulaiman I pun setuju. Pada 1519, Khalifah mengangkat Khairuddin sebagai beylerbey (Bakhlair Baik) atau wakil Khalifah untuk wilayah Aljazair dan sekitarnya. Kemudian Khairuddin juga ditugasi memimpin pasukan-pasukan elit Daulah Khilafah Islamiyah, Pasukan Janissary.


Dalam masa kepemimpinan Khairuddin, Pasukan Janissary berhasil melakukan banyak penyelamatan Umat Islam di Andalusia. Tercatat mereka melakukan 7 kali pelayaran dengan 36 buah kapal untuk mengangkut Umat Islam Spanyol yang diburu bagai hewan oleh Ferdinand II dan Pasukan Salibnya.


Pertengahan dekade 1520-an, Pasukan Darat Janissary yang dipimpin langsung Khalifah Sulaiman I berhasil memenangkan semua pertempuran darat. Pada saat bersamaan, Pasukan Laut Janissary di bawah pimpinan Khairuddin juga berhasil mengontrol lalu lintas pelayaran di Laut Tengah sepenuhnya. Kondisi ini membuat Pasukan Salib Kristen Eropa menjadi pusing tujuh keliling.


Awal Mula Minuman Capucchino


Dalam suasana putus asa, pada tahun 1529 di pulau Penon, Spanyol menembakkan meriam ke menara masjid saat Adzan sedang berkumandang. Maka terjadilah peperangan hebat di Penon dan setelah 20 hari pulau tersebut berhasil dikuasai kembali oleh Khairuddin. Sementara di daratan, Sulaiman I membombardir Wina (Ibukota Austria) dengan dua kali serangan namun keduanya gagal. Pasukan Islam yang mundur dari pertempuran meninggalkan beberapa karung kopi yang kemudian mengubah aturan Paus Roma yang sebelumnya mengharamkan minuman yang biasa diminum kaum muslim itu. Kemudian mereka menyebut minuman itu sebagai dengan nama cappuccino.


Pada tahun 1535 Pasukan Salib Gabungan Spanyol dan Genoa di bawah pimpinan Charles V dan Andrea Doria (Knight of Malta) menyerang Tunisia dengan kekuatan 25.000 orang pasukan dan 500 kapal. Pertempuran pun berjalan tidak imbang hingga Tunisia pun jatuh ke tangan Spanyol. Pada tahun-tahun selanjutnya, Khairuddin Sang Barbarossa mengalami banyak kekalahan. Namun ia berhasil menduduki kepulauan Beleares dan merampas kapal-kapal Portugis dan Spanyol di selat Gibraltar.


Akhir Gemilang Barbarosa Sebelum Tutup Usia


Tahun 1538, Pasukan Salib Gabungan Italia-Spanyol menyerang Preveza yang saat itu merupakan pelabuhan penting di Laut Tengah. Andrea Doria memimpin 40 kapal dan Barbarossa hanya memimpin 20 kapal. Namun dengan kecerdikannya, Barbarossa memecah armadanya ke tiga arah dan menjebak Pasukan Andrea Doria di tengah untuk kemudian membombardir armada Andrea Doria habis-habisan. Andrea Doria dan armada lautnya pun lari dari pertempuran. Walau begitu, Khairuddin tak mengejarnya karena ia tak ingin berperang di laut lepas, mengingat kapal-kapal armada laut Spanyol mempunyai peralatan yang lebih canggih. Apalagi ia hanya memimpin 20 kapal.


Tiga tahun kemudian, Pasukan Salib Gabungan Spanyol-Genoa kembali menyerang Aljazair dengan kekuatan 200 kapal. Mereka sengaja melancarkan serangan di luar musim berlayar, untuk menghindari pertemuan dengan Pasukan Barbarossa. Rakyat Aljazair di bawah komando Hasan Agha berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan Aljazair. Charles V dan Andrea Doria yang memimpin serangan tak mengira bahwa pertahanan dan strategi perang Hasan Agha sangat matang, sehingga armadanya pun kacau-balau. Ketika itu pula tiba-tiba badai laut dahsyat menghantam Laut Mediterania. Andrea Doria dan Charles V berhasil selamat, dan kembali ke negerinya dengan kekalahan pahit.


Tahun 1565, dalam usia senja, Khairuddin Barbarossa memimpin pasukan untuk merebut Malta dari tangan Knight of St. John. Namun dalam pertempuran itu, Khairuddin gugur. Kemudian Khairuddin dimakamkan di Istanbul. Di dekat kuburannya didirikan masjid dan madrasah untuk mengenangnya. Hingga kini makam tersebut masih terawat untuk menjadi bukti kepahlawanan Khairuddin alias Barbarossa yang namanya masih ditakuti bangsa Eropa hingga zaman sekarang.


Sumber: http://www.eocommunity.com/showthread.php?tid=30615

Teroris Kristen Norwegia Breivik Terbukti Waras Sewaktu Lakukan Pembantaian

Teroris Kristen Norwegia Anders Behring Breivik dalam kondisi waras ketika dia membantai 77 orang pada musim panas lalu dalam serangan yang dia anggap sebagai hukuman untuk "pengkhianat" yang membela kelompok imigrasi, tim psikiatri Selasa kemarin (10/4) menyatakan dalam sebuah laporan yang bertolak belakang dengan laporan sebelumnya. 




Breivik sendiri telah menegaskan bahwa dia secara mental stabil dan menuntut agar serangan - yang paling kejam di Norwegia sejak Perang Dunia II - dinilai sebagai tindakan politik dan bukan tindakan dari pemikiran yang gila.


"Kesimpulan utama para ahli kesehatan mental adalah bahwa terdakwa Anders Behring Breivik dianggap tidak memiliki gejala psikotik pada saat melakukan tindakan pembantaian yang terjadi pada tanggal 22 Juli 2011," kata Pengadilan Negeri Oslo dalam sebuah pernyataan. 


Sebuah laporan sebelumnya pada bulan November menemukan Breivik dalam kondisi "gila" dan juga menderita skizofrenia paranoid selama dan sesudah serangan 22 Juli. Sebuah keputusan akhir tentang kondisi mental Breivik akan dibuat oleh sebuah panel lima hakim di akhir persidangan.


Laporan terbaru bisa memberikan alasan hakim untuk menghukum Breivik ke penjara jika terbukti bersalah. Breivik, 33 tahun, mengaku meledakkan bom yang menewaskan delapan orang di markas pemerintah di Oslo, kemudian membantai 69 orang dengan tembakan di sebuah kamp musim panas Partai Buruh. 


Sebagian besar korban kamp musim panas adalah para remaja. Dalam sidang pengadilan awal Breivik membantah bersalah melakukan tindakan kriminal dan menyebut tindakannya adalah bagian dari perang untuk menyelamatkan budaya Eropa.(fq/reu) 


Sumber: http://www.eramuslim.com

Siasat Buah Aren Kalahkan Surabaya


Pada akhirnya kecerdikan otaklah yang bisa mengalahkan Surabaya. Bukan otot dan pedang.
OLEH: BONNIE TRIYANA

WINONGAN hanyalah sebuah kota kecamatan di wilayah kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, yang letaknya berada di sebelah tenggara Surabaya. Di kota kecil itulah pada 1614, pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Suratani, mendirikan pusat komandonya sekaligus mengordinasikan serangan Mataram ke daerah timur. Sejak 1614, mulai dari Winongan, balantentara Mataram terus merongrong kekuasaan Surabaya. Serangan demi serangan pun dilakukan ke berbagai wilayah kekuasaan Surabaya di pantai utara Jawa, mulai dari Tuban, Gresik dan terus merangsek ke jantung kekuasaan Surabaya.   
Ada dua kerajaan yang menjadi musuh utama Mataram, yakni Surabaya di timur dan Banten di barat. Sejak kepemimpinan Panembahan Hanyakrawati (1601-1613), Kerajaan Mataram gigih memperluas pengaruhnya di Jawa. Beberapa tahun menjelang akhir kekuasaanya, Raja yang kemudian setelah meninggal digelari sebagai Panembahan Seda Ing Krapyak itu memang menjalankan politik luar negeri yang aktif. Bahkan, mengutip sejarawan HJ. De Graaf, Panembahan mempekerjakan Juan Pedro Italiano, seorang petualang Italia, yang telah masuk Islam, untuk melobi para pedagang Belanda. 
Semasa hidupnya Panembahan Krapyak gencar memerangi Surabaya namun tak pernah berhasil menguasai kota yang terkenal memiliki pertahanan yang kuat itu. Ketika Sultan Agung menggantikan posisi Panembahan Krapyak pada 1613, raja baru itu meneruskan pekerjaan sang ayah yang tak sempat berlanjut karena keburu wafat pada 1 Oktober 1613. Pada saat Sultan Agung memerintah, sebuah taktik lain dijalankan. Alih-alih menyerang langsung ke Surabaya, sultan yang sebelum dinobatkan bernama Raden Mas Jatmika itu memilih untuk menyerang lebih dulu daerah-daerah taklukan Surabaya. 
Beberapa bulan setelah penobatannya, Sultan Agung langsung memberikan titah kepada Tumenggung Suratani yang disertai ribuan balatentara Mataram untuk segera berangkat menyerang daerah timur. Sultan Agung memberikan perintah dengan acaman: bunuh siapa pun yang mundur dari gelanggang pertempuran. Target serangan pertama adalah Pasuruan. Namun serangan itu gagal karena tentara Pasuruan bertempur habis-habis mempertahankan kotanya. Walhasil balatentara Mataram mundur ke Winongan dan bertahan di daerah itu dengan membangun perintang yang sangat kuat untuk melindungi diri dari kemungkinan serangan balasan. 
Sementara menyusun kekuatan untuk serangan ulang, Tumenggung Suratani memerintahkan Tumenggung Alap-Alap merebut Lumajang dan Renong. Namun kedua bupati daerah itu berhasil melarikan diri. Tumenggung Alap-Alap dan pasukannya yang berhasil menguasai kota, menjarah harta benda milik bupati, bahkan menculik para perempuan untuk dibawa pulang. Aksi penyerangan dilanjutkan sampai ke Malang di mana pasukan Tumenggung Alap-Alap berhasil menangkap Rangga Toh Jiwa, bupati Malang yang sempat melarikan diri dari kejaran pasukan. 
Cara pasukan Mataram menebar aksi teror ini cukup berhasil menimbulkan ketakutan di kalangan penguasa daerah-daerah protektorat Surabaya. Dalam jangka waktu yang singkat, Mataram terus menggempur daerah-daerah di Jawa Timur. Ekspedisi demi ekspedisi dikirim, mengoyak rasa tenteram para penguasanya. Tak semua serangan Mataram berhasil. Dalam beberapa serangan balasan, pasukan Mataram kocar-kacir, seperti yang terjadi pada pertempuran di Sungai Andaka (kini disebut sungai Brantas), di mana dua pemimpin pasukan Mataram, Aria Suratani dan Ngabei Ketawangan tewas di tempat. 
Menyerang terlebih dahulu kota-kota satelit di sekitar Surabaya agaknya bertujuan untuk memutus jalur logistik ke Surabaya. Sebagai kota pelabuhan, Surabaya menggantungkan dirinya kepada daerah-daerah pedalaman (hinterland) untuk suplai berbagai kebutuhan sehari-hari. Bahkan kebutuhan atas air pun diambil dari kali Mas, salah satu dari dua cabang kali pecahan aliran Sungai Brantas yang melintasi Mojokerto. Kelak lewat sungai Brantas Surabaya bisa dibuat bertekuklutut. 
Taktik demikian ditempuh Mataram karena serangan langsung terhadap Surabaya tak pernah berhasil. Surabaya terlalu kuat, apalagi bala bantuan dari Madura selalu siap setiap saat mempertahankan Surabaya. Selama bertahun-tahun, semenjak naih takhta, Sultan Agung terus melancarkan penyerbuan ke Surabaya. Seringkali menemui kegagalan tapi dia tak pernah jera untuk melakukan serangan. 
Apa yang sebenarnya mendorong sultan dari trah Ki Ageng Pemanahan itu begitu ngotot menaklukkan Surabaya? Sejarawan Universitas Gadjah Mada Dr. Sri Margana mengatakan perebutan legitimasi kekuasaan religius adalah alasan utama kenapa Mataram gigih melancarkan perang terhadap Surabaya. “Mataram membutuhkan legitimasi keislaman dan itu dimiliki oleh Surabaya karena mereka keturunan para wali, sementara Mataram keturunan petani,” kata doktor lulusan Leiden University itu. 
Menurut Margana legitimasi kekuasaan berdasarkan tahkta suci agama menjadi penting karena dengan itulah Surabaya memiliki pengaruh yang sangat luas. Konsepsi kekuasaan yang demikian bersumbu pada  kepercayaan di kalangan masyarakat Jawa bahwa raja adalah pusat kosmis yang memiliki pengaruh baik pada alam maupun masyarakat. Raja juga dipercaya sebagai keturunan nabi-nabi dan dewa-dewa. Anggapan itu dikaitkan dengan kepercayaan magis dari wahyu raja (pulung ratu) dan konsep pewaris keturunan darah raja (trahing kusuma rembesing madu wijining andhana tapa), hanya orang yang memiliki keturunan darah raja lah yang berhak menjadi raja (Poesponegoro:1992. 60). “Sementara trah Pemanahan itu kan trahnya petani, jadi mereka berada satu derajat di bawah trah wali seperti penguasa Surabaya, itu alasan Mataram menyerang Surabaya,” kata Margana. 
Maka Mataram berani menempuh jalan mana pun untuk mengalahkan dan menguasai Surabaya. Cara Sultan Agung yang menggempur secara periodik wilayah kekuasaan setahap demi setahap menimbulkan korban yang cukup besar di pihak Mataram. Namun dia terus mencari cara agar Surabaya yang makin lama makin terdesak itu menyerah, terutama sejak kejatuhan Tuban pada 1619 menyusul kekalahan Madura pada 1624. 
Setelah bertempur selama hampir satu dekade lebih, akhirnya Mataram berhasil memasuki pinggiran kota Surabaya yang pertahanannya tak terkalahkan itu. Pasukan Mataram di bawah pimpinan dua panglima perangnya, Tumenggung Ketawangan dan Tumenggung Alap-Alap menggempur Surabaya pada 1624. Dari sumber Belanda, sebagaimana dikutip dari De Graaf (2002), kendati sudah berhasil menembus barikade pertahanan Surabaya, pasukan Mataram masih mengalami kesulitan mematahkan pertahanan pasukan Surabaya yang gigih mempertahankan pusat kotanya. 
Tentara Mataram pun kembali menebar teror kepada penduduk pinggiran Surabaya. Sawah dan ladang milik penduduk diporak-porandakan dengan maksud para penduduk yang tetap bertahan segera menyerah seperti juga yang dilakukan oleh penduduk Sampang, Madura ketika mereka diserang Mataram beberapa waktu sebelumnya. Pertempuran dengan pihak Surabaya, mengutip De Graaf, “sudah sampai tingkat kritis. Sebanyak 80 ribu orang mengepung kota ini.” Karena alotnya pertahanan pasukan Surabaya, Mataram memilih untuk bersikap defensif sambil mencari akal untuk menyusun serangan mematikan kepada pihak Surabaya. Mereka pun mendirikan perkemahan di  sekitar Mojokerto sambil menunggu waktu tepat melancarkan serangan.
Tumenggung Mangun Oneng yang diberi mandat memimpin serangan ke Surabaya kali ini melancarkan taktik “bendungan Jepara” untuk menyumbat aliran sungai Brantas yang menjadi sumber air bagi penduduk Surabaya. Teknik pembendungan tersebut menggunakan berbatang pohon kelapa dan bambu yang diletakkan membentang di dasar sungai sampai dengan permukaannya. Setelah air tersumbat dan hanya mengalir sedikit saja, pasukan Mataram menceburkan bangkai binatang dan berkeranjang buah aren (latin:Arenga saccharifera). Bangkai menyebabkan air berbau busuk sementara buah aren menimbulkan gatal-gatal yang luar biasa hebatnya. 
Air yang tercemar itu menyebabkan penduduk Surabaya terkena wabah penyakit batuk dan gatal-gatal. Taktik yang mendatangkan penderitaan bagi rakyat Surabaya itu sampai ke telinga raja. Sebuah pertemuan digelar oleh kalangan istana Surabaya tapi raja terlalu malu untuk memaklumkan kekalahannya pada Mataram. Maka diutuslah Pangeran Pekik, putra sang raja, beserta seribu tentara Surabaya untuk menemui Tumenggung Mangun Oneng. Melalui Demang Urawan, surat maklumat kekalahan Raja Surabaya disampaikan kepada Tumenggung Mangun Oneng. Menurut catatan VOC sebagai mana dikutip De Graaf, Surabaya dinyatakan kalah pada 27 Okotober 1625. Sejak saat itu Mataram mulai mencengkeramkan kuku kekuasannya di Jawa Timur.

Para Prajurit Janda


Tak mau larut dalam kepedihan, semangat cinta pada suami menjadi bekal mereka dalam berperang.
OLEH: HENDARU TRI HANGGORO
Sumber: Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I. Ilustrasi: Micha Rainer Pali
KESULTANAN Aceh belum lama berdiri ketika Portugis menaklukkan Malaka pada 1511. Kesultanan ini secara bertahap menjadi kuat di semenanjung Sumatra pada paruh pertama abad ke-16. Kala itu, lada Sumatra laku keras di pasaran Tiongkok dan Eropa. Hubungan dengan pedagang dari pesisir laut merah pun segera terjalin. Ini membawa keuntungan bagi Kesultanan Aceh.
Portugis melihat itu sebagai ancaman, sementara sultan-sultan Aceh menilai Portugis sebagai lawan. Perang pun tak terelakkan. Aceh menyerang Malaka pada 1537, 1547, 1567, 1574, dan 1629. Dalam peperangan itu, Aceh menyertakan armada perempuan. Orang Portugis agak canggung dibuatnya. Tapi, tak ada pilihan: mereka harus berperang melawan para perempuan. Inilah tilas mula keperkasaan perempuan Aceh.
Kesertaan perempuan Aceh ditemukan dalam perang tahun 1567 walau belum berhimpun dalam kesatuan khusus. Jennifer Dudley, mahasiswi doktoral Universitas Murdoch, menyebut perempuan-perempuan itu bergabung ke dalam pasukan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar. “Mereka menemani suaminya berperang, sementara sisanya adalah janda atau tunangan dari prajurit yang gugur dalam perang sebelumnya,” tulis Dudley dalam “Of Warrior Women, Emancipiest Princesses, ‘Hidden Queens’, and Managerial Mothers.”
Bersandar kepada catatan yang ditemukannya, Dudley tak menampik peran perempuan dalam perang. Sebab, selama ini, kiprah prajurit perempuan dalam sejarah Indonesia lebih banyak bersandar pada mitos, bukan catatan sejarah. Dudley mengakui hal itu lantaran kurangnya sumber tulisan tepercaya tentang riwayat perempuan-perempuan Aceh. Dalam makalahnya, Dudley menggambarkan mereka “bertarung dengan berjalan kaki dan menunggang kuda atau gajah.” Namun, Dudley tak menerangkan dari mana keahlian itu diperoleh.
Keahlian perempuan Aceh berperang tersemai berkat pelatihan di akademi militer Kesultanan Aceh, Baital Makdis. Pendirian akademi ini tak terlepas dari bantuan Kesultanan Turki Usmani. Dua kesultanan ini merenda hubungan baik sejak paruh pertama abad ke-16, sehingga kemungkinan akademi itu didirikan pada kurun yang sama.
Walau tak menyebut kurikulum dan kapan pendiriannya, Ismail Hakki Goksoy, dalam “Ottoman-Aceh Relations According to the Turkish Sources”, makalah pada First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, mencatat Aceh merekrut ahli militer dan pembuat senapan sejak 1530-an. Dia juga menyebut akademi ini meluluskan seorang perempuan Aceh, Kumalahayati.
Kumalahayati menjadi laksamana perempuan pertama saat Aceh berada di bawah kuasa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukamil (1589-1604), yang menyerang Portugis di Teluk Aru, dekat Langkat. Tugas Kumalahayati adalah menghadang serangan Portugis setelah peperangan di Teluk Aru. Dia lalu membentuk kesatuan tentara perempuan bernama Inong Balee. Kesatuan ini terdiri dari sekira seribu janda prajurit Aceh yang gugur dalam perang itu.
Kumalahayati salah satu janda tersebut. Meski sedih, dia tak terus meratap; sebab perang belum berakhir. Armada Portugis masih berhimpun di Malaka untuk membalas serangan di Teluk Aru. Dia tak mau kematian suaminya sia-sia. Demi cintanya pada suami, Kumalahayati berlakon sebagai panglima dan jurulatih janda-janda itu.
Teluk Krueng Raya terpilih sebagai markas mereka. Di sana, mereka dilatih mengangkat busur, memegang senapan, menunggang kuda, mengendalikan gajah, dan, tak kalah penting, mengobarkan semangat cinta pada suami sebagai bekal berperang. Selain itu, markas mereka dilengkapi dengan kapal-kapal perang dan meriam.
Peran perempuan dalam kemiliteran Aceh tak terbatas pada pasukan perang. Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604-1607) dikelilingi oleh pasukan pengawal perempuan yang disebut Sukey Inong Kaway. Berbeda dariInong Balee, anggota pasukan ini terdiri dari perempuan bersuami dan perawan. Mereka dipercayakan menjaga istana putri. Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, melihat gejala ini sebagai ketidakpercayaan sultan terhadap penjaga lelaki. Reid menyebut, “Pola ini tampaknya bersumber dari ketidakpercayaan yang dirasakan oleh kalangan raja terhadap setiap lelaki yang mendekati tempat tinggal putri-putri istana.”
Kepercayaan sultan-sultan Aceh pada prajurit perempuannya semakin terbukti dengan pengembangan Inong Balee. Iskandar Muda (1607-1636), sultan Aceh termashyur, mengambil sebagian anggota Inong Balee untuk masuk ke Kemala Cahaya, pengawal kehormatan istana. Sebagian besar adalah perempuan-perempuan berparas cantik. Mereka bertugas menerima tamu-tamu agung sultan. Menurut Ann Kumar, dalam Prajurit Perempuan Jawa, mengutip catatan Peter Mundy, pengelana Inggris yang melawat ke Aceh pada 1637, “para pengawal perempuan berjalan sambil mengusung panah dan busur.”
Menurut A. Hasjmy dalam 59 Tahun Aceh Merdeka, seusai masa Iskandar Muda, prajurit perempuan Aceh terus dibina oleh Sultanah Safiatuddin (1641-1675). Inong Balee, misalnya, tak lagi hanya berisi janda tapi juga perempuan bersuami atau masih gadis. Meski Kesultanan Aceh mengalami kemunduran jelang abad ke-18, peran prajurit perempuan Aceh tak lantas mengendur. Lawan Aceh, Portugis, yang juga mengalami kemunduran, digantikan oleh Belanda. Belanda harus mengalami perang serupa Portugis: menghadapi prajurit perempuan.
Hingga paruh pertama abad ke-20, kiprah perempuan Aceh dalam militer masih tersua. Beberapa nama kesatuan prajurit perempuan bisa disebut, semisal Sukey Fakinah pada akhir abad ke-19 dan Resimen Pocut Baren pada 1945. Dari epos panjang prajurit perempuan Aceh itu, keperkasaan tokoh-tokoh masyhur seperti Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dapat terlacak.

Partai-partai Politik Pakistan Tolak Rute Pasokan Nato Dibuka Kembali

Partai-partai politik Pakistan sekali lagi memperingatkan rencana pemerintah untuk membuka kembali rute pasokan NATO, dengan mengatakan tindakan itu hanya akan serangan teror semakin meningkat, laporan Press TV. 




Menurut pimpinan Liga Muslim Awami (AML) Syaikh Rasyid, serangan teror "akan dilanjutkan jika jalur suplai NATO dibuka kembali," dan juga bisa mengancam Punjab. 


Para pemimpin Tehrik-e-Insaf Pakistan (PTI), serta partai politik lainnya menyuarakan penentangan mereka, mengatakan langka tersebut hanya akan menambah kerusuhan di Pakistan. Laporan ini datang pada saat pemerintah Pakistan sedang mempertimbangkan untuk membuka kembali rute pasokan NATO yang sebelumnya diblokir di tengah meningkatnya tekanan dari Amerika Serikat. 


Jamat-e-Islami serta aliansi partai oposisi lainnya, Dewan Difa-e-Pakistan, juga telah berulang kali memperingatkan Islamabad untuk tidak melakukan langkah tersebut. 


November lalu, Islamabad menutup rute pasokan setelah serangan udara AS menewaskan sedikitnya 24 tentara Pakistan di dekat perbatasan Afghanistan. (fq/prtv) 


Sumber: http://www.eramuslim.com

Hilangnya Mutiara Hitam



Datang sebagai pembebas rakyat Kongo, Lumumba menjadi korban Perang Dingin.
OLEH: MF. MUKTHI
PERISTIWANYA terjadi nun jauh di negeri orang: Kongo. Namun di Labuan Batu, Sumatra Utara, buruh-buruh perkebunan marah. Mereka mengambil-alih perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belgia di daerah Mrangir, Aek Paminke, Pernantian, Perlabian, Kanopan Ulu, Padang Halaban, Negeri Lama, dan Sennah. Aksi buruh itu tanpa disertai tindak kekerasan. Tak ada korban jiwa. Mereka juga melaporkan ke pihak berwajib setelah selesai aksi.
Di Jawa Barat, aksi serupa gagal. Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie keburu mengeluarkan larangan. “Terhadap perbuatan-perbuatan yang demikian dapat diambil tindakan sesuai dengan ketentuan undang-undang/peraturan-peraturan yang ada dan berlaku bagi Penguasa Keadaan Bahaya,” tulis Pikiran Rakjat, 23 Maret 1961.
Aksi buruh di sejumlah wilayah di Indonesia itu merupakan bentuk protes atas terbunuhnya Perdana Menteri Patrice Lumumba asal Kongo. Lumumba dan rakyatnya dianggap sebagai teman seperjuangan melawan kolonialisme, penindasan, dan penghisapan.
Lumumba lahir 2 Juli 1925 di Onalua, wilayah Katakokombe, provinsi Kasai, Kongo. Saat itu Kongo adalah wilayah jajahan Belgia sejak 1908. Sejak muda, Lumumba gandrung akan kemerdekaan negerinya. Setelah sempat bekerja sebagai sales bir dan klerek kantor pos, dia mulai manapak karier di dunia politik lewat Partai Liberal Belgia. Pada 1958, dia ikut mendirikan Gerakan Nasional Kongo (MNC) dan kemudian jadi presidennya. Pada tahun yang sama, dia mewakli MNC dalam konferensi All-African Peoples di Accra, Ghana, yang mempertebal keyakinannya akan Pan-Afrika.
Di penghujung 1959, Lumumba ditahan atas tuduhan menghasut kerusuhan antikolonial di Stanleyville yang menewaskan 30 orang. Berbarengan dengan masa awal penahanannya, Konferensi Brusel yang membicarakan masa depan Kongo digelar. MNC menuntut pembebasan Lumumba dan berhasil. Lumumba bebas dan hadir dalam konferensi. Konferensi pun memutuskan kemerdekaan Kongo pada 30 Juni. Sebelum perayaan kemerdekaan, digelar pemilihan umum. Lumumba dan MNC menang dan berhak membentuk pemerintahan. Lumumba jadi perdana menteri, dengan wakil Antoine Gizenga. Sementara Joseph Kasavubu, tokoh nasionalis terkemuka asal Partai Abako, terpilih sebagai presiden.
Dalam perayaan kemerdekaan, yang juga dihadiri Raja Belgia Baudouin, Lumumba mengingatkan penderitaan rakyat Kongo di bawah kolonialisme. Dia juga menyebut kemerdekaan Kongo tak diberikan dengan murah hati oleh Belgia.
Bukan hanya Belgia, Amerika Serikat juga tak senang atas kondisi baru di Kongo. Gerakan kemerdekaan total Lumumba mengganggu kepentingan Barat. Terlebih, sebelumnya Amerika menguasai kekayaan alam negeri itu, sebagai kompensasi dukungannya terhadap klaim Raja Belgia Leopold II atas wilayah cekungan Kongo pada abad ke-19. Sebagai gambaran, uranium untuk bahan pembuat bom atom yang digunakan di Hiroshima-Nagasaki diambil dari pertambangan di Kongo. “Selama 126 tahun, AS dan Belgia telah memainkan peran kunci dalam membentuk nasib orang Kongo,” tulis Georges Nzongola-Ntalaja, profesor African and Afro-American studies di University North Carolina, dalam “Patrice Lumumba: The Most Important Assassination of the 20th Century”, dimuat www.guardian.co.uk.
Amerika pun mendorong Belgia untuk mengambil-alih Kongo kembali. Mereka menginginkan status quo. Di tengah Perang Dingin, mereka juga khawatir Kongo jatuh ke Blok Timur.
Di dalam negeri, Lumumba menghadapi pemberontakan tentara yang tak puas atas kebijakannya yang hanya menaikkan gaji pegawai sipil. Kerusuhan juga meluas. Tak lama kemudian Provinsi Katanga di bawah Moise Tshombe, dengan dukungan Belgia dan perusahaan pertambangan seperti Union Miniere, memerdekakan diri. Provinsi kaya sumberdaya alam lainnya, Kasai Selatan, menyusul.  
Lumumba minta pasukan penjaga perdamaian PBB memadamkan pemberontakan tapi tak berhasil. Dia berpaling ke Uni Soviet.
Presiden Kasavubu, yang tak suka cara yang ditempuh Lumumba, memecat Lumumba. Lumumba protes. Kongo dikendalikan dua kubu yang saling klaim kekuasaan, Kasavubu di Leopoldsville (kini Kinshaha) dan Lumumba di Stanleyville (kini Kisangani). Ketidakamanan itu membuat Kolonel Joseph Mobutu melakukan kudeta pada 14 September. Lumumba dikenai tahanan rumah dengan penjagaan pasukan keamanan PBB. Dia sempat meloloskan diri dan membentuk pemerintahan di pelarian, namun akhirnya kembali ditangkap.
Soviet, yang menuding sekjen PBB dan Barat sebagai pihak yang bertanggungjawab atas penangkapan itu, menuntut pembebasan Lumumba. Dewan Keamanan PBB lalu menggelar sidang darurat. Perdebatan sengit dan saling veto antara Blok Timur dan Blok Barat terjadi. Soviet kalah suara. Negara-negara yang setuju pendapat Soviet menarik diri dari kontingen pasukan perdamaian. Indonesia salah satunya.
Setelah dipindah ke sana kemari, Lumumba dibawa ke Provinsi Katanga. Dia lalu disekap di Brouwez House. Di situ Tshombe dan “utusan-utusan” Barat merapatkan pembunuhan Lumumba.
Suatu malam awal 1961, Lumumba dibawa ke sebuah tempat rahasia dan wafat di tangan tiga regu tembak. Jasadnya dimutilasi dan dibuang. “Ini jelas solusi elegan yang terbaik bagi Katanga: kematian pasti untuk Lumumba, dan tangan orang-orang Tshombe bersih dari lumuran darah,” tulis Ludo De Witte dalam The Assassination of Lumumba. De Witte menyebutnya sebagai “pembunuhan terpenting abad ke-20”.
Selama puluhan tahun, kematian Lumumba menyisakan kabut: siapa aktor dan dalang di balik pembunuhannya. Belgia menuding Tshombe. Namun pembunuhan itu kini tersingkap tirainya. “Kejahatan keji ini merupakan puncak komplotan pembunuhan buatan pemerintah Amerika dan Belgia, yang menggunakan tangan Kongo dan regu tembak Belgia untuk melaksanakannya,” tulis Georges Nzongola-Ntalaja.
Kematian Lumumba mengejutkan banyak orang di belahan dunia. Di Indonesia, Presiden Sukarno, yang juga berkali-kali jadi sasaran pembunuhan dari tangan-tangan kekuatan asing, menyebut tindakan pengecut itu sebagai banditisme dan menyimpulkannya sebagai tindakan ofensif baru kaum imperialis yang terpaksa dilakukan karena di mana-mana mereka dipukul mundur. Untuk mengenangnya, Sukarno mengabadikan namanya menjadi Jalan Patrice Lumumba (kini Jalan Angkasa, Jakarta) di kawasan Gunung Sahari.
Sementara D.N. Aidit, ketua CC PKI, menyerukan: hukum pembunuh Lumumba dan dukung pemerintah Gizenga! Aidit juga menorehkan kepedihannya dalam sebuah puisi “Yang Mati Hidup Kembali”. Sejawatnya, Njoto, menulis “Merah Kesumba”: Darah Lumumba Merah Kesumba / Kongo!

Kofi Annan Serukan Akhiri Kekerasan di Suriah Tanpa Prasyarat

Utusan PBB dan Liga Arab untuk Suriah Kofi Annan menyerukan diakhirinya kekacauan selama satu tahun di negara itu "tanpa prasyarat."




"Saya percaya seharusnya tidak ada prasyarat untuk menghentikan aksi kekerasan," kata Annan dalam konferensi pers, Selasa kemarin (10/4). Mantan Sekjen PBB itu membuat pernyataan setelah mengunjungi kamp pengungsi di perbatasan Suriah di provinsi Turki selatan Hatay. 


"Saya sekali lagi menyerukan pemerintah Suriah dan oposisi Suriah untuk menghentikan kekerasan sesuai (dengan) rencana," kata Annan, mengacu pada rencana enam poin yang ia usulkan ke Damaskus pada bulan Maret lalu.


Pada tanggal 5 April juru bicara pemerintah Suriah Annan Ahmad Fawzi mengatakan, "Apa yang kami harapkan pada 10 April adalah bahwa pemerintah Suriah akan menyelesaikan penarikannya dari pusat penduduk."


Penarikan ini merupakan bagian dari rencana enam poin. Menlu Suriah Walid al-Muallem juga mengatakan pada hari Selasa kemarin, "Kami telah menarik pasukan dan unit tentara dari beberapa provinsi Suriah." Muallem membuat pernyataan dalam konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Moskow. (fq/prtv)


Sumber: http://www.eramuslim.com

Mahasiswa Pakistan Kecam AS yang Janjikan Hadiah Untuk Penangkapan Hafiz Said



Ratusan mahasiswa Pakistan mengadakan demonstrasi menentang AS di Karachi, memprotes sikap Washington yang menjanjikan hadiah untuk pimpinan sebuah kelompok Islam Pakistan, Press TV melaporkan.  


Para mahasiswa turun ke jalan pada hari Selasa kemarin (10/4) mengutuk tindakan AS terhadap pendiri dan pimpinan Jamaat-ud-Dawa, Hafiz Muhammad Said. Dalam aksi para pengunjuk rasa mahasiswa membakar bendera AS dan menuntut permintaan maaf dari Washington karena menghina warga negara Pakistan. 


Mereka percaya bahwa Washington sedang mencoba untuk membalas terhadap Said untuk oposisi publiknya menentang serangan pesawat tak berawak AS di wilayah Pakistan serta rencana pembukaan kembali rute Pakistan untuk pasokan NATO menuju ke Afghanistan. 


Pada tanggal 2 April lalu, pemerintah AS mengumumkan bahwa mereka akan menawarkan hadiah sebanyak 10 juta dolar untuk informasi yang mengarah pada penangkapan Said, yang telah dituduh mendalangi serangan Mumbai November 2008.


Serangan menyebabkan sekitar 160 orang tewas. Islamabad mengatakan Said telah dibersihkan oleh pengadilan Pakistan akan keterlibatannya dalam serangan itu.(fq/prtv)


Sumber: http://www.eramuslim.com

Kekecewaan Seeorang Jepang

Menyebut negerinya berkhianat kepada Indonesia, dia memilih berjuang dan mati untuk kemerdekaan Indonesia.


OLEH: HENDRI F. ISNAENI

PADA 15 Februari 1958, Presiden Sukarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo. Teks itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro.
Di biara Buddha itu kemudian dibuat monumen Sukarno (Soekarno hi) bertuliskan: "Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno."   
Ichiki Tatsuo lahir di kota kecil Taraki, prefektur Kumamoto, bagian selatan Kyushu. Dia anak ketiga dari enam bersaudara. Ketika kecil, orangtuanya bercerai, dia ikut ibunya. Ichiki dibesarkan saat Jepang berada pada masa transisi. Kebebasan dan demokrasi selama zaman Taisho (1912-1926) mulai tergerus oleh tekanan militer pada masa Showa (1926-1989). Banyak pemuda desa seperti juga Ichiki bercita-cita mencari kehidupan baru di Amerika Selatan atau Samudra Pasifik bagian selatan, yaitu Asia Tenggara.
Kesempatan itu pun datang. Datang surat dari teman sekampung, Tsuruoka Kazuo, yang sukses mendirikan toko kelontong –dikenal dengan sebutan toko Jepang– di kota Pagar Alam, dekat Palembang, Sumatra Selatan. Isinya: mengundang Ichiki untuk datang dan bekerja di studio foto Miyahata di Palembang. Saat itu Ichiki berusia 21 tahun. Dia meninggalkan bangku sekolah menengah sebelum lulus dan magang di sebuah studio foto, dekat kampungnya. Pada 22 Januari 1928, Ichiki pun berangkat.
"Dia bermimpi menjalankan studio foto terbesar di Samudra Pasifik bagian selatan," tulis Goto dalam “Life and Death of Abdul Rachman (1906-49): One Aspect of Japanese-Indonesian Relationships," Indonesia, Vol 22, 1976.
Pada 1933, Ichiki datang ke Bandung karena saudara mudanya, Naohiro yang menyusulnya pada akhir 1929, meninggal dunia. Ichiki tak kembali ke Palembang tapi tetap di Bandung dan bekerja di studio foto. Merasa tak nyaman, dia jadi kondektur bus. Tak cocok, dia meninggalkan pekerjaan ini dan tinggal di rumah Iti, perempuan dari keluarga miskin di sebuah kampung di Sumedang. Dia menemukan kedamaian, bahkan merasa hampir sepenuhnya sebagai orang Indonesia. "Ini adalah kelahiran baru Ichiki Tatsuo," tulis Kenichi.
Dalam kehidupan keras di kampung ini, Ichiki memupuk pengetahuan bahasa Indonesia sampai dia menyusun kamus Indonesia-Jepang. Ichiki tetap mengikuti perkembangan politik di Jepang. Untuk itu, dia sering pergi ke Klub Jepang di Bandung. Dia juga melahap koran dan majalah JepangTerkadang dia menerjemahkan artikel bertopik semangat Jepang Bushido lalu menjualnya koran-koran lokal.
Machida Taisaku, pemimpin senior Klub Jepang di Bandung, merekomendasikan Ichiki ke koran Nichiran Shogyo Shinbun, yang dijalankan Kubo Tatsuji, advokat pendukung Asianisme. Pada Juli 1937, koran ini merger dengan Jawa Nippo dan berubah nama menjadi Toindo Nippo (Harian Hindia Timur) tapi tetap anti-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda, yang menganggap Jepang sebagai ancaman, meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan Ichiki dan kawan-kawannya.
Pada 1938, untuk mendiskusikan proyek Toindo Nippo lebih kongkret, Ichiki kembali ke Tokyo. Tapi sebelum berangkat ke Indonesia, dia menerima telegram dari Belanda di Batavia yang melarangnya masuk kembali ke Jawa karena kegiatan anti-Belandanya. Ichiki pun bekerja sebagai peneliti paruh waktu di Biro Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri dan di Staf Umum Angkatan Darat.
Pada 1940-an, Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda secara bertahap memperkuat embargo ekonominya kepada Jepang. “Hal ini bahkan mengakibatkan semakin pentingnya arti Indonesia bagi Jepang. Pada saat itu, pemimpin-pemimpin Jepang mulai membicarakan secara terang-terangan ‘pembebasan’ Indonesia,” tulisnya Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Pada masa ini, Ichiki berteman dekat dengan Joseph Hassan, pejuang kemerdekaan Indonesia yang secara diam-diam dikirim ke Jepang oleh teman Jepangnya, seperti Machida Taisaku and Sato Nobuhide. "Ichiki dan Hassan akan menghabiskan berjam-jam dengan antusias berbicara tentang hari esok rakyat Indonesia setelah mereka dibebaskan," tulis Kenichi.
Setelah menggulingkan Belanda pada Maret 1942, Jepang disambut dengan suka cita sebagai Saudara Tua. Namun, suasana itu tak berlangsung lama. Jepang segera melarang berbagai aktivitas politik. Ichiki pun kecewa.
Pada sesi Imperial Diet (Majelis Perwakilan Tertinggi Jepang) awal 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo menyebutkan akan memberikan kemerdekaan bagi Filipina dan Burma di akhir tahun 1943, tapi Indonesia tidak disebut. Sekali lagi, Ichiki frustasi dan lambat-laun membenci negerinya sendiri.
Pada Oktober 1943, Jepang membentuk Pembela Tanah Air (Peta) –kelak menjadi inti dari angkatan bersenjata Indonesia. Ichiki bekerja sebagai petugas paruh waktu di Divisi Pendidikan Peta di Bogor. Dia membangun sebuah rumah terpencil di perkebunan karet dan menyebut dirinya –karena kulitnya agak gelap– "gagak dari Bogor." Pekerjaannya menerjemahkan manual tentara Jepang seperti Rikugun Hohei Soten(Manual Infantri) dan menjadi editor majalah Heiho, Pradjoerit. Melalui karyanya, dia merasa masih bisa melayani masyarakat Indonesia. Ichiki juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Asia Raya.
Pada 15 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang sampai pada Ichiki. Jepang, yang melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso, pengganti Tojo, berjanji memberikan "kemerdekaan Indonesia di kemudian hari" pada 7 September 1944, mengingkari dan mematuhi perintah Sekutu, serta menyatakan tak ada hubungannya lagi dengan masalah kemerdekaan Indonesia. Ichiki merasa Jepang telah mengkhianati rakyat Indonesia dua kali: pada awal dan akhir pendudukan.
Di hari Jepang menyerah, Ichiki menyatakan berpisah dengan Jepang. Dia menentang tentara Sekutu dan pendaratan pasukan Belanda, serta bertekad untuk berbagi dengan rakyat Indonesia akan nasib ibu pertiwi barunya, Republik Indonesia, bukan sebagai seorang Jepang Tatsuo Ichiki, tapi sebagai pemuda Abdul Rachman. Nama Abdul Rachman diberikan oleh H. Agus Salim ketika menjadi penasihat Divisi Pendidikan Peta, sebagai bentuk penghargaan kepadanya yang memihak Republik.
Pada masa perang kemerdekaan, Abdul Rachman memimpin Pasukan Gerilya Istimewa di Semeru, Jawa Timur, yang disegani Belanda. Pasukan yang dibentuk pada 1948 ini merupakan satuan khusus di bawah militer Indonesia yang beranggotakan sekira 28 orang tentara Jepang yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka disebut zanryu nihon hei atau prajurit yang tinggal di belakang.
Pada 9 Januari 1949, desa terpencil Dampit dekat Malang, Jawa Timur, yang merupakan salah satu medan pertempuran paling sengit, menjadi akhir riwayat sang samurai. Abdul Rachman berlari ke depan melawan arus peluru Belanda untuk mendorong pasukan Indonesia, yang mulai ragu melihat kekuatan Belanda, agar menyerang. Alhasil, beberapa peluru Belanda menembus dahinya.

Sumber: http://historia.co.id