Wednesday, April 11, 2012

Hilangnya Mutiara Hitam



Datang sebagai pembebas rakyat Kongo, Lumumba menjadi korban Perang Dingin.
OLEH: MF. MUKTHI
PERISTIWANYA terjadi nun jauh di negeri orang: Kongo. Namun di Labuan Batu, Sumatra Utara, buruh-buruh perkebunan marah. Mereka mengambil-alih perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belgia di daerah Mrangir, Aek Paminke, Pernantian, Perlabian, Kanopan Ulu, Padang Halaban, Negeri Lama, dan Sennah. Aksi buruh itu tanpa disertai tindak kekerasan. Tak ada korban jiwa. Mereka juga melaporkan ke pihak berwajib setelah selesai aksi.
Di Jawa Barat, aksi serupa gagal. Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie keburu mengeluarkan larangan. “Terhadap perbuatan-perbuatan yang demikian dapat diambil tindakan sesuai dengan ketentuan undang-undang/peraturan-peraturan yang ada dan berlaku bagi Penguasa Keadaan Bahaya,” tulis Pikiran Rakjat, 23 Maret 1961.
Aksi buruh di sejumlah wilayah di Indonesia itu merupakan bentuk protes atas terbunuhnya Perdana Menteri Patrice Lumumba asal Kongo. Lumumba dan rakyatnya dianggap sebagai teman seperjuangan melawan kolonialisme, penindasan, dan penghisapan.
Lumumba lahir 2 Juli 1925 di Onalua, wilayah Katakokombe, provinsi Kasai, Kongo. Saat itu Kongo adalah wilayah jajahan Belgia sejak 1908. Sejak muda, Lumumba gandrung akan kemerdekaan negerinya. Setelah sempat bekerja sebagai sales bir dan klerek kantor pos, dia mulai manapak karier di dunia politik lewat Partai Liberal Belgia. Pada 1958, dia ikut mendirikan Gerakan Nasional Kongo (MNC) dan kemudian jadi presidennya. Pada tahun yang sama, dia mewakli MNC dalam konferensi All-African Peoples di Accra, Ghana, yang mempertebal keyakinannya akan Pan-Afrika.
Di penghujung 1959, Lumumba ditahan atas tuduhan menghasut kerusuhan antikolonial di Stanleyville yang menewaskan 30 orang. Berbarengan dengan masa awal penahanannya, Konferensi Brusel yang membicarakan masa depan Kongo digelar. MNC menuntut pembebasan Lumumba dan berhasil. Lumumba bebas dan hadir dalam konferensi. Konferensi pun memutuskan kemerdekaan Kongo pada 30 Juni. Sebelum perayaan kemerdekaan, digelar pemilihan umum. Lumumba dan MNC menang dan berhak membentuk pemerintahan. Lumumba jadi perdana menteri, dengan wakil Antoine Gizenga. Sementara Joseph Kasavubu, tokoh nasionalis terkemuka asal Partai Abako, terpilih sebagai presiden.
Dalam perayaan kemerdekaan, yang juga dihadiri Raja Belgia Baudouin, Lumumba mengingatkan penderitaan rakyat Kongo di bawah kolonialisme. Dia juga menyebut kemerdekaan Kongo tak diberikan dengan murah hati oleh Belgia.
Bukan hanya Belgia, Amerika Serikat juga tak senang atas kondisi baru di Kongo. Gerakan kemerdekaan total Lumumba mengganggu kepentingan Barat. Terlebih, sebelumnya Amerika menguasai kekayaan alam negeri itu, sebagai kompensasi dukungannya terhadap klaim Raja Belgia Leopold II atas wilayah cekungan Kongo pada abad ke-19. Sebagai gambaran, uranium untuk bahan pembuat bom atom yang digunakan di Hiroshima-Nagasaki diambil dari pertambangan di Kongo. “Selama 126 tahun, AS dan Belgia telah memainkan peran kunci dalam membentuk nasib orang Kongo,” tulis Georges Nzongola-Ntalaja, profesor African and Afro-American studies di University North Carolina, dalam “Patrice Lumumba: The Most Important Assassination of the 20th Century”, dimuat www.guardian.co.uk.
Amerika pun mendorong Belgia untuk mengambil-alih Kongo kembali. Mereka menginginkan status quo. Di tengah Perang Dingin, mereka juga khawatir Kongo jatuh ke Blok Timur.
Di dalam negeri, Lumumba menghadapi pemberontakan tentara yang tak puas atas kebijakannya yang hanya menaikkan gaji pegawai sipil. Kerusuhan juga meluas. Tak lama kemudian Provinsi Katanga di bawah Moise Tshombe, dengan dukungan Belgia dan perusahaan pertambangan seperti Union Miniere, memerdekakan diri. Provinsi kaya sumberdaya alam lainnya, Kasai Selatan, menyusul.  
Lumumba minta pasukan penjaga perdamaian PBB memadamkan pemberontakan tapi tak berhasil. Dia berpaling ke Uni Soviet.
Presiden Kasavubu, yang tak suka cara yang ditempuh Lumumba, memecat Lumumba. Lumumba protes. Kongo dikendalikan dua kubu yang saling klaim kekuasaan, Kasavubu di Leopoldsville (kini Kinshaha) dan Lumumba di Stanleyville (kini Kisangani). Ketidakamanan itu membuat Kolonel Joseph Mobutu melakukan kudeta pada 14 September. Lumumba dikenai tahanan rumah dengan penjagaan pasukan keamanan PBB. Dia sempat meloloskan diri dan membentuk pemerintahan di pelarian, namun akhirnya kembali ditangkap.
Soviet, yang menuding sekjen PBB dan Barat sebagai pihak yang bertanggungjawab atas penangkapan itu, menuntut pembebasan Lumumba. Dewan Keamanan PBB lalu menggelar sidang darurat. Perdebatan sengit dan saling veto antara Blok Timur dan Blok Barat terjadi. Soviet kalah suara. Negara-negara yang setuju pendapat Soviet menarik diri dari kontingen pasukan perdamaian. Indonesia salah satunya.
Setelah dipindah ke sana kemari, Lumumba dibawa ke Provinsi Katanga. Dia lalu disekap di Brouwez House. Di situ Tshombe dan “utusan-utusan” Barat merapatkan pembunuhan Lumumba.
Suatu malam awal 1961, Lumumba dibawa ke sebuah tempat rahasia dan wafat di tangan tiga regu tembak. Jasadnya dimutilasi dan dibuang. “Ini jelas solusi elegan yang terbaik bagi Katanga: kematian pasti untuk Lumumba, dan tangan orang-orang Tshombe bersih dari lumuran darah,” tulis Ludo De Witte dalam The Assassination of Lumumba. De Witte menyebutnya sebagai “pembunuhan terpenting abad ke-20”.
Selama puluhan tahun, kematian Lumumba menyisakan kabut: siapa aktor dan dalang di balik pembunuhannya. Belgia menuding Tshombe. Namun pembunuhan itu kini tersingkap tirainya. “Kejahatan keji ini merupakan puncak komplotan pembunuhan buatan pemerintah Amerika dan Belgia, yang menggunakan tangan Kongo dan regu tembak Belgia untuk melaksanakannya,” tulis Georges Nzongola-Ntalaja.
Kematian Lumumba mengejutkan banyak orang di belahan dunia. Di Indonesia, Presiden Sukarno, yang juga berkali-kali jadi sasaran pembunuhan dari tangan-tangan kekuatan asing, menyebut tindakan pengecut itu sebagai banditisme dan menyimpulkannya sebagai tindakan ofensif baru kaum imperialis yang terpaksa dilakukan karena di mana-mana mereka dipukul mundur. Untuk mengenangnya, Sukarno mengabadikan namanya menjadi Jalan Patrice Lumumba (kini Jalan Angkasa, Jakarta) di kawasan Gunung Sahari.
Sementara D.N. Aidit, ketua CC PKI, menyerukan: hukum pembunuh Lumumba dan dukung pemerintah Gizenga! Aidit juga menorehkan kepedihannya dalam sebuah puisi “Yang Mati Hidup Kembali”. Sejawatnya, Njoto, menulis “Merah Kesumba”: Darah Lumumba Merah Kesumba / Kongo!